Aku datang sendiri. Duduk di ujung ruangan ini sembari menatap sekeliling. Aku buka buku harianku dan mulai menulis. Kupilih kata "Aku" pada bait pertama. Lalu kuganti menjadi "Maaf" saat mengingat aku sedang menunggu siapa.
Kemudian perasaan itu tumpah ke dalam tulisan yang semakin panjang, tak membentuk sebuah cerita maupun puisi seperti karangan para pujangga. Aku hanya menulis monolog hati yang kukira bisa kubaca lagi suatu hari nanti. Mengingatkanku pada cerita yang kutulis dan kurangkai baitnya satu persatu.
Ketika kudengar derap langkah kaki menaiki anak tangga di samping tempat duduk yang kupilih, kututup rapat-rapat buku harianku lalu kumasukkan ke dalam tas yang sedari tadi kupangku dan setengah kupeluk. Aku mulai membiasakan diri pada suasana ini lagi, suasana yang dulu pernah kurasakan sesekali. Entah apa namanya tapi aku terus mencari cara agar pertemuan ini terasa cair dan tak kubiarkan beku lebih lama.
Saat itu, aku mungkin melakukan kesalahan. Aku membiarkan semuanya berulang. Bahkan aku terkejut ketika hati ini bergetar padahal sebelumnya tak pernah kurasakan. Entah mengapa genggaman tanganku begitu erat dan aku merasa sedikit takut. Aku rasa aku terjebak dalam situasi macam itu lagi. Bukan hal buruk, namun bisa menyakiti.
Aku tahu setiap tempat punya cerita. Termasuk cerita yang kukarang hari ini untuk memperkuat suasana tempat yang kutuju. Membuat seseorang merasakan atmosfer tempat itu sedalam yang mereka mau atau hanya sekadar membaca dan tersenyum lalu berkata pelan "itu seperti ceritaku". Biarlah. Setiap tempat memiliki ceritanya masing-masing. Entah cerita sungguhan maupun bualan. Yang jelas, hari ini selembar kertas di buku harianku tak putih lagi.
0 comments:
Post a Comment