Sore itu, aku tengah menatap langit yang semakin memerah. Aku belum melihat matahari berjalan pulang ke rumahnya, jadi kupikir aku masih punya waktu untuk bercengkrama dengan Tuhan di halaman.
Coretan demi coretan kugoreskan di atas buku harian yang kubeli dengan uang jajanku sendiri waktu itu. Entah kapan pastinya, tapi yang aku ingat aku membelinya dengan warna muka yang sendu. Kupikir aku akan menulis surat untuk Tuhan, tapi ternyata aku salah. Aku menulis surat untuk diriku sendiri karena seketika aku sadar bahwa Tuhan tak perlu repot-repot membaca untuk tahu apa yang aku alami kemarin, hari ini, besok, bahkan seratus tahun lagi.
Di atas kertas itu, aku hampir menuliskan kedengkian. Pada orang-orang yang tak pernah bisa melihatku dengan pikiran mereka yang jernih. Entahlah, bahkan kadang aku berpikir apa mereka sudah tidak bisa mencuci pikirannya. Mungkin deterjennya habis, positif saja. Aku berpikir sebentar. Lalu aku bercerita.
“Aku. Bagai gadis di tepi jurang. Ingin bertahan tapi selalu berusaha dijatuhkan. Biar saja begini. Setidaknya aku pernah bertahan. Waktu itu aku sadar bahwa aku harus bersikap baik. Bukan. Bukan karena terpaksa, tapi karena hati ini masih berfungsi dengan sangat sempurna. Saat itu, aku pikir aku gadis yang terlalu polos. Catatan; Aku bukan memuji diri sendiri, tapi justru aku merasa bodoh. Andai aku tak sebodoh itu waktu itu, mungkin hari ini aku akan menjadi gadis iblis yang memakai sebuah kostum peri. Aku bersyukur Tuhan membuatku setengah tidak bersalah hingga hari ini. Itu pikirku. Akan tetapi, di sore ini, tiba-tiba aku merasakan hawa panas itu lagi. Aku seperti disalahkan, seperti dilempari cacian. Padahal, sampai detik ini, aku masih menggantungkan janji itu. Kubingkai rapih. Meskipun berulang kali ingin sekali kupecahkan, tapi aku tahan. Memang, kuakui kadang aku bertindak nakal, hingga rasanya ingin kubuat berantakan susunan permainannya, tapi rasanya aku tak mau menjadi sejahat itu. Aku pikir aku masih harus bersabar, tapi yang ia tahu, aku tak lebih dari seorang gadis rendahan. Tanpa melihatku dengan kedua matanya, ia menatapku sinis. Ya Tuhan… apa lagi yang harus aku lakukan? Hanya diam?”
Tulisanku sampai di sana. Seketika pipiku menghangat. Tak ada tangis, tapi aku bisa merasakan air itu menggenang di kedua mataku. Masih kugenggam pulpen merah di tangan kananku, kemudian aku menghela napas panjang. Lalu kuteruskan menulis paragraf baru.
“Biar. Biar saja hidupku selucu itu. Biar cerita itu mengajarkanku bagaimana caranya membesarkan hati. Bukan menumbuhkan benci. Saat ini aku bisa merasakan Tuhan memelukku dari belakang. Aku percaya ketika Tuhan berkata “Aku mengetahuinya, bahkan ketika kamu baru sekadar berniat.”, dan kini, yang aku tahu, setiap aku menghela napas, lalu memejamkan mata, dan kemudian tersenyum, aku menemukan kata bahagia itu. Hingga detik ini, aku pastikan aku tak pernah membenci siapapun. Meskipun mungkin tak ada yang memercayainya.”
Sekarang, tepat dihadapanku, langit merah itu berubah pekat dan hampir gelap. Ini waktunya aku ikut pulang bersama matahari dan sinarnya. Ini juga saatnya memeriksa kamarku, barangkali banyak kebahagiaan yang belum kusadari keberadaannya di dalam sana. Sampai jumpa J
(Cerita ketika Tuhan memelukku dari belakang)
Agitayuana
0 comments:
Post a Comment